Lo Kheng Hong telah menjadi magnet bagi pasar modal Indonesia dan membuatnya sering disebut Warren Buffet-nya Indonesia.
Kisah
hidup pria ini memang bisa menjadi inspirasi bagi setiap investor di
pasar modal. Masa kecil Lo Keng Hong dilalui dengan keprihatinan.
Ayahnya merupakan pegawai kecil. Mereka sekeluarga tinggal di rumah
terbuat dari papan di daerah Jakarta Barat.
"Saya dari keluarga
tidak mampu, tinggal di rumah tua. Tiap kita lihat ke atas rumah,
atapnya bolong karena tidak ada plafon. Letak rumahnya juga sangat
rendah, lebih rendah dari jalan raya, sehingga kerap getaran kendaraan
di jalan amat mengganggu,"kenang pria yang akrab dipanggil Kheng Hong
ini.
Saat lulus SMA, Kheng Hong mencoba melamar kerja. Saat itu,
ia melamar kerja di Bank Overseas di daerah Hayam Wuruk. Saat itu, pada
1977, untuk mendapat pekerjaan tidak terlalu sulit. Ia pun diterima
bekerja di bagian tata usaha. "Karier saya lama di bank itu karena bank
itu tidak ada ekspansi. Sambil kerja saya juga kuliah,"jelas dia.
Dengan
kuliah, Kheng Hong berharap kariernya bisa meningkat. Namun ternyata,
harapannya kandas. Setelah menjadi sarjana, ia berharap ada promosi
karier. "Saya tetap jadi pegawai TU. Yang lebih sakit, gaji saya 350
ribu rupiah, sementara yang fresh graduate 425 ribu rupiah,"ucap dia.
Ia
pun memutuskan pindah ke bank lain yang lebih besar. Di sana ia
diterima dengan fasilitas gaji dan tunjangan yang lebih baik. Kariernya
pun meningkat karena seiring ekspansi bank, ia mendapat posisi sebagai
kepala cabang. Gajinya pun meningkat jauh lebih besar. Namun, Kheng Hong
punya prinsip hidup hemat.
"Saya hidup hemat, dan uang lebih 100
persen saya gunakan untuk beli saham,"jelas pria yang mengaku tidak
pernah berutang dalam membeli saham ini. Pada 1994, saham yang ia beli
naik berkali-kali lipat. Dengan kelebihan yang ia miliki, Kheng Hong
bisa membeli rumah di kompleks Green Garden, Jakarta Barat.
Dirasa
sudah cukup mendapat keuntungan dari saham yang ia miliki, Kheng Hong
pun memutuskan berhenti dari pekerjaannya. "Harta terbesar di dunia ada
di pasar modal. Kalau kita tidak kenal pasar modal, maka hal itu sangat
disayangkan,"terang pria berusia 53 tahun itu.
Bukan kali itu
saja Kheng Hong mengalami peningkatan harta secara pesat. Pada 2005, ia
membeli saham Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI) dengan harga 250
rupiah. Secara bertahap, Kheng Hong membeli saham MBAI hingga memiliki
enam juta saham atau 8,28 persen saham MBAI. Saham itu kemudian naik
12.600 persen menjadi 31.500 rupiah per saham.
Selain di saham
itu, Kheng Hong mendapat imbal hasil besar dari PT Hexindo Adiperkasa
Tbk, PT United Tractors Tbk (UNTR), PT Gadjah Tunggal Tbk (GJTL), PT
Charoen Pokphan Tbk (CPIN), PT Polychem Indonesia Tbk (ADMG), PT Japfa
Comfeed Tbk (JPFA), dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). Harga Hexindo
mengalami kenaikan 14.000 persen dari saat pertama Kheng Hong
membelinya.
Sumber Inspirasi
Ada empat alasan mengapa Kheng
Hong memilih menjadi investor saham. Pertama, investor saham bisa
menjadi orang terkaya di dunia. Ia sangat mengidolai Warren Buffet. Dari
Buffet, ia belajar banyak hal.
"Saya sudah baca puluhan buku tentang Buffet. Buku-bukunya sangat menginspirasi saya,"terang dia.
Pelajaran
kedua yang ia dapat dari membeli saham adalah keuntungan perusahaan itu
hak si pemegang saham. Direksi dan karyawan bekerja keras, tapi ketika
perusahaan meraih laba, yang menikmati adalah pemegang saham. Karena
itu, Kheng Hong menyarankan pada pemula yang mencoba berkecimpung di
pasar modal untuk membeli perusahaan yang memiliki untung besar.
Menurut
Kheng Hong, membeli perusahaan yang untung besar itu seperti membeli
mesin pencetak uang. Karena itu, berbeda dengan investor lain, ia
cenderung memilih perusahaan yang menggunakan laba untuk ekspansi usaha
daripada membagi dividen ke pemegang saham. Menurut dia, hasil invetasi
di saham mengalahkan investasi lainnya, seperti obligasi, emas, dan
properti.
Tentang apa yang telah diraihnya saat ini, Kheng Hong
mengaku cukup puas. Menjadi investor memberinya dua keuntungan
sekaligus. Selain memiliki banyak uang, dia memiliki sangat banyak waktu
luang. Sejak awal memutuskan menjadi investor, Kheng Hong memang sudah
mengincar kebebasan finansial dan waktu.
"Di dunia ini kan ada
empat macam orang. Pertama itu adalah orang yang punya banyak waktu
tetapi tidak punya uang (pengangguran). Kedua, orang yang punya banyak
uang tetapi tidak punya waktu (pengusaha). Ketiga, orang yang tidak
punya uang dan tidak punya waktu (karyawan). Keempat, punya banyak uang
dan punya banyak waktu. Itu biasanya seorang investor,"jelas dia.
Dengan
menjadi investor, Kheng Hong mengaku terbebas dari rasa pusing untuk
mengurus karyawan atau pelanggan jika dia menjadi seorang pengusaha
ataupun eksekutif. Pasalnya, segala macam urusan itu telah diserahkan
kepada orang-orang profesional yang menjadi direksi, komisaris, manajer,
dan karyawan.
Padahal, keuntungan terbesar dari keberhasilan
yang dicapai perusahaan sepenuhnya merupakan hak dari pemegang saham
atau investor. Direksi, komisaris, atau karyawan hanya mendapat jatah
dari gaji dan bonus yang diberikan.
"Jadi, falsafah hidup saya
adalah bagaimana saya bisa menjadi kaya sambil tidur. Kan namanya
sleeping partner karena saya nggak boleh ikut campur,"kata pria yang
memilih tidak mau menjadi komisaris di sejumlah emiten meski dia
memiliki hak dengan porsi saham yang relatif besar. wan/E-11
Empat Jurus Memilih Saham
Menjadi
sukses dalam bermain saham tentunya punya strategi khusus. Bagi Kheng
Hong yang sangat terinspirasi dengan Warren Buffet ini, terdapat empat
syarat yang harus dipenuhi sebelum dia memutuskan untuk membeli saham
tertentu.
Syarat yang pertama dan paling utama dalam membeli
saham adalah manajemen, termasuk pemegang saham pengendali yang menunjuk
jajaran manajemen. Menjadi investor di suatu perusahaan berarti
memercayakan seluruh harta milik kita ke manajemen.
"Jika dalam
membeli properti pertimbangan utamanya adalah lokasi, lokasi, dan
lokasi, maka dalam membeli saham, yang menjadi pertimbangan utama adalah
manajemen, manajemen, dan manajemen,"kata Kheng Hong. Secara spesifik,
dia mengaku emiten-emiten dalam Grup Astra, dan BUMN telah terbukti
baik.
Selanjutnya, syarat lain yang mendorong Kheng Hong membeli
suatu saham adalah perusahaan tersebut harus memiliki bisnis yang hebat.
Bisnis yang hebat ini bisa diukur dari tingkat profitabilitas suatu
perusahaan, misalnya saja dari tingkat Return on Equity (ROE) yang
tinggi atau dari marjin laba bersihnya.
Untuk kategori bisnis
yang hebat ini, Kheng Hong menunjuk bisnis produksi DOC milik
Multibreeder (MBAI) yang sulit dimasuki pemain lain. Saat ini, praktis
di Indonesia hanya ada dua pemain yang bisa eksis di bisnis yang harus
dikelola dengan standar biosecurity yang sangat tinggi itu.
Syarat
yang ketiga, yang dilihat Kheng Hong adalah jenis perusahaan yang
bertumbuh atau growing. Dia memilah peruahaan menjadi empat kategori.
Pertama, perusahaan yang merugi terus. Kedua, perusahaan yang kadang
untung dan kadang rugi. Ketiga, perusahaan yang laba terus tetapi
stagnan.
"Jenis perusahaan yang keempat itu adalah perusahaan
yang bisa menghasilkan laba yang terus bertumbuh setiap tahunnya. Ini
adalah perusahaan yang growing,"kata pria yang punya hobi mengamati
laporan keuangan emiten ini.
Terakhir, pertimbangan Kheng Hong
dalam memilih saham adalah valuasi yang murah. Berbeda dengan investor
umumnya, Kheng Hong konsisten memvaluasi saham berdasarkan kemampuannya
mencetak laba (Price Earning Ratio). Dia tidak mempermasalahkan jika
harga suatu saham telah naik tinggi, asalkan PE-nya masih relatif kecil.
nse/E-11
© koran-jakarta.com