Tuesday, July 18, 2023

MENGUNGKAP MAKRIFATULLAH DALAM KESADARAN : Menapaki Jalan Spiritual Menuju Pengenalan Lebih Dalam


Makrifatullah merupakan konsep dalam tradisi mistik Islam yang mengacu pada pengenalan atau pemahaman mendalam tentang Allah, baik secara intelektual maupun pengalaman langsung. Juga dianggap sebagai tingkat pengetahuan yang mendalam dan pengalaman spiritual yang melampaui pengetahuan konvensional.

Kesadaran adalah keadaan mental yang mencakup kesadaran akan diri sendiri, persepsi, pemikiran, emosi, dan pengalaman. Ini adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami dunia di sekitar kita, khususnya diri sendiri dan orang lain. Kesadaran juga melibatkan kemampuan untuk mengamati dan merasakan pengalaman secara sadar, serta memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan hidup dan makna keberadaan. Dalam konteks spiritual, kesadaran sering kali merujuk pada keadaan pikiran yang terhubung dengan realitas yang lebih tinggi atau kesadaran yang melampaui pemahaman konvensional.

Makrifatullah adalah ilmu yang membuat seseorang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, bukan hanya sekadar mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga mengetahui hakikat, rahasia, dan hikmah di balik ciptaan-Nya. Makrifatullah adalah puncak dari perjalanan rohani seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati.

Makrifatullah berada dalam kesadaran, dapat ditafsirkan sebagai pandangan bahwa pengalaman dan pemahaman tentang Allah atau kebenaran spiritual sejati terletak dalam kesadaran manusia itu sendiri. Makrifatullah merupakan puncak kesadaran yang menentukan perjalanan hidup seorang hamba menuju Tuhannya. Hal ini menunjukkan pentingnya proses introspeksi, refleksi, dan perjalanan spiritual dalam mencapai pengetahuan dan pengalaman tentang makna hidup dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa yaitu Allah azza wajalla.

Makrifatullah berada dalam kesadaran berarti bahwa seseorang yang memiliki makrifatullah akan selalu menyadari kehadiran, kekuasaan, kehendak, dan kasih sayang Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Ia akan melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda kebesaran Allah dan sebagai sarana untuk mengenal-Nya lebih dalam. Ia akan merasakan bahwa Allah selalu melihat, mendengar, dan mengetahui apa yang ia lakukan, sehingga ia akan berusaha untuk taat, bersyukur, sabar, dan ikhlas dalam segala hal.

Makrifatullah dalam kesadaran juga berarti bahwa seseorang yang memiliki makrifatullah akan menggunakan akal sehatnya untuk merenungkan ciptaan Allah dan mempelajari kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul. Ia akan mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Ia juga akan memahami asma dan sifat Allah serta mengamalkannya dalam perilaku dan sikapnya.

Makrifatullah dalam kesadaran adalah nikmat yang sangat besar yang dapat membawa seseorang kepada ketenangan, kebahagiaan, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Makrifatullah dalam kesadaran adalah tujuan hidup yang sesungguhnya bagi setiap muslim.

Dalam pandangan saya, bahwa untuk benar-benar mengenal Allah, seseorang harus memiliki kesadaran spiritual yang tinggi dan memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Dengan demikian, Ma’rifatullah dapat membantu seseorang untuk lebih dekat dengan Tuhan dan menjalani kehidupan dengan cara yang lebih bermakna.

Oleh karenanya Para tokoh sufi seperti Maulana Jalaluddin Rumi, Imam Al-Ghazali, Ibn Arabi, serta yang lainnya membuat sebuah kosep syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Konsep syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat tidak dapat dikaitkan dengan satu individu yang spesifik, karena mereka merupakan bagian dari tradisi dan ajaran Islam yang berkembang sepanjang sejarah. Konsep-konsep ini berasal dari penafsiran dan pengembangan pemikiran oleh banyak tokoh, sarjana, dan sufi dalam sejarah Islam.

Syariat,

Dalam Islam, syariat merujuk pada hukum dan aturan yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan Sunnah (ajaran dan tindakan Nabi Muhammad). Syariat merupakan panduan yang diikuti oleh umat Muslim dalam menjalani kehidupan mereka, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam interaksi sosial.

Syariat mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, etika, moralitas, hubungan sosial, hukum keluarga, keadilan, dan ekonomi. Prinsip-prinsip syariat ditujukan untuk membimbing umat Muslim dalam menjalani hidup sesuai dengan kehendak Allah dan menghasilkan masyarakat yang adil, harmonis, dan bermoral.

Syariat menetapkan kewajiban dan larangan yang harus diikuti oleh umat Muslim, seperti melaksanakan salat, berpuasa selama bulan Ramadan, memberikan zakat, dan melaksanakan haji bagi yang mampu. Selain itu, syariat juga mengatur tata cara berpakaian, makanan yang halal atau haram, pernikahan, perceraian, warisan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Pemahaman dan implementasi syariat dapat berbeda dalam berbagai konteks dan mazhab dalam Islam. Namun, prinsip-prinsip inti syariat tetap menjadi dasar bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan mereka dan membangun hubungan yang kokoh dengan Allah dan sesama manusia. Namun Inti dari Syariat adalah Menjalankan semua Perintah Allah yang wajib bahkan yang sunnah serta menjauhi segala yang di larang-Nya.

 

Tarikat sebagai jalur spiritual dalam Islam melibatkan berbagai aliran dan tradisi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh sufi atau guru spiritual seperti tarekat Naqshbandi, Qadiriyyah, Syadziliah, dan banyak lagi. Setiap tarekat memiliki pendiri dan tokoh sentral yang memberikan ajaran dan praktik khusus untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

Dalam tarekat, praktik zikir atau mengingat Allah merupakan bagian penting dalam perjalanan spiritual. Zikir dilakukan dengan mengulang kalimat Allah dan Lailahailallah ribuan kali bahkan puluhan ribu sebagai bentuk pengabdian dan upaya untuk selalu dekat dengan Allah. Melalui zikir ini, pengikut tarekat berusaha menghubungkan diri mereka dengan hakikat spiritual dan mendalami pengenalan yang lebih dalam tentang keberadaan Allah.

Selain praktik zikir, tarekat juga mengajarkan nilai-nilai moral, disiplin spiritual, dan pengembangan batin. Para pengikut tarekat diharapkan menjalani kehidupan yang bermakna dan mencerminkan ajaran Islam dalam segala aspek. Mereka dipandu oleh guru spiritual atau syekh yang memberikan arahan, bimbingan, dan dukungan dalam perjalanan mereka menuju kesadaran yang lebih tinggi.

Meskipun ada perbedaan dalam ajaran dan praktik setiap tarekat, tujuan akhirnya tetap sama, yaitu mencapai kesatuan dengan Allah dan mengalami hakikat keberadaan yang lebih dalam. Tarikat memberikan wadah dan struktur untuk individu menjalani perjalanan spiritual mereka dalam konteks Islam yang berpusat pada cinta dan pengabdian kepada Allah.

Dengan melibatkan diri dalam tarekat, individu berharap dapat mengembangkan kesadaran spiritual yang lebih tinggi, memperdalam pemahaman tentang diri mereka dan Allah, serta menjalani kehidupan yang penuh dengan kasih, kebajikan, dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.

 

Hakikat dalam konteks spiritualitas dan mistikisme merujuk pada pemahaman dan pengalaman mendalam tentang hakikat sejati dari keberadaan, tujuan hidup, dan hubungan dengan Tuhan. Ini melibatkan pengenalan langsung atau pemahaman yang dalam tentang kebenaran esensial dan realitas yang mendasari segala sesuatu.

Dalam tradisi mistik Islam, hakikat merujuk pada tingkat pemahaman spiritual yang mendalam dan pengalaman transenden yang melampaui pengetahuan konvensional. Ini mencakup pemahaman tentang sifat dan atribut Allah, hubungan antara manusia dan Tuhan, serta pemahaman yang lebih dalam tentang makna hidup dan tujuan eksistensi manusia.

Hakikat melibatkan proses pencarian kebenaran dan pengalaman spiritual yang mendalam melalui praktik-praktik seperti, dzikir, tafakkur (introspeksi), meditasi dan ibadah yang intens (tarekat). Dalam pencarian hakikat, individu berusaha untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan dan mengalami pemahaman dan pengalaman yang lebih dalam tentang kebenaran spiritual.

Pemahaman dan pengalaman hakikat dapat bervariasi antara individu, dan seringkali ditempuh melalui bimbingan seorang guru spiritual atau syekh. Tujuan utama dari pengejaran hakikat adalah mencapai kesadaran yang lebih tinggi, kedekatan dengan Tuhan, pemurnian jiwa, dan transformasi pribadi yang membawa kehidupan yang lebih bermakna dan harmonis.

Inti dari Hakikat adalah menyucikan hati dari sifat-sifat yang tercela, amarah, hasut, iri, dengki, dan sifat-sifat buruk lainnya. Tujuan dari hakikat ini adalah untuk memunculkan Nur Ilahi dan Nur Muhammad. Cahaya suci ini tidak akan pernah bisa muncul jika batin ini tidak menjadi suci. Jika cahaya ilahi ini sudah muncul maka menyatulah Mahluk dengan Tuhannya atau dikenal dengan istilah “manunggaling kaula gusti” Manunggaling = Menyatu | Kaula = Hamba | Gusti = Tuhan (menyatunya manusia dengan tuhan).

Secara teoritis tidak mungkin manusia menyatu dengan Tuhannya sama halnya ketidakmungkinan Robot memiliki hati. Tapi saat Artificial Intelligence (AI) berkembang dengan pesat saat ini, kita melihat bagaimana Robot mampu menyatu dengan manusia, mengobrol dan penuh perhatian seolah mereka memiliki hati layaknya manusia, kita tidak tahu apa yang terjadi dimasa yang akan datang bisa saja manusia benar-benar bisa menjadi seolah manusia sesungguhnya. Begitu juga refleksi atau analogi dari menyatunya manusia dengan Tuhan.  

Tubuh manusia diciptakan dari tanah, namun Roh Manusia itu tidak di ciptakan tapi di hembuskan langsung oleh Allah Tuhan Yang Maha Pencipta seperti termuat dalam QS. As-Sajadah : 9 dan QS. Al-Hijr : 29. Oleh karenanya makna dihembuskannya Roh/Ruh sendiri adalah bahwa Ruh adalah bagian langsung dari sang Pencipta dia tidak hancur seperti tubuh manusia, dia hidup abadi untuk mempertanggung jawabkan segala amal saat dia berada dalam tubuh fananya. 

Roh sendiri meliputi dua hal yaitu Akal dan Hati. Sejatinya Roh sendiri meliputi seluruh tubuh manusia karena roh meliputi pergerakan tidak sadar bahkan dari struktur terkecil tubuh manusia yaitu sel atau lebih kecil lagi. Itulah mengapa Roh sering disebutkan dalam berbagai literatur berwujud seperti manusia. 

Nafas adalah pengikat Roh dan Raga. Jika manusia memperhatikan nafasnya sejatinya dia telah memasuki ke kesadaran yang lebih tinggi, seperti yang di jelaskan dalam QS. Al-fajr : 27-28 “Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah ( Nafs = Nafas = Jiwa = Roh ) = Wahai "Nafs" yang tenang, irji'i ila rabbiki radhiyatam mardhiyyah ( kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya)...dst..

Dalam konteks spiritual "nafs" merujuk pada jiwa atau esensi manusia yang mencakup berbagai aspek, seperti keinginan, emosi, dan akal.

Dalam tradisi Sufi, "nafs" digunakan untuk merujuk pada tingkatan atau tahapan spiritual dalam perjalanan ke arah Tuhan. Tahap-tahap tersebut meliputi nafs ammara (jiwa yang merayu kepada kejahatan), nafs lawwama (jiwa yang merasa bersalah), dan nafs mutma'inna (jiwa yang merasa tenang dan puas dengan ketundukan kepada Allah).

Begitu juga konsep tentang Tuhan sebagai “ketenangan dan kekosongan” dapat memiliki makna dan interpretasi yang berbeda-beda dalam berbagai ajaran keagamaan dan spiritual.

Dalam beberapa tradisi spiritual, konsep tentang Tuhan sebagai ketenangan dan kekosongan dapat dikaitkan dengan pandangan tentang Tuhan sebagai sumber segala sesuatu atau sumber dari semua keberadaan. Dalam pandangan ini, kekosongan atau ketiadaan dapat diartikan sebagai keadaan atau realitas di luar dunia materi atau dimensi yang dapat kita rasakan, sementara ketenangan dapat diartikan sebagai keadaan keabadian dan ketidakberubahannya.

Dalam beberapa tradisi spiritual, pencarian atau pengalaman tentang Tuhan dapat dihubungkan dengan pencarian ketenangan dan kekosongan yang berada di dalam diri manusia. Dengan menyadari kekosongan di dalam diri, manusia dapat mencapai keadaan ketenangan yang lebih dalam dan mencapai pengalaman yang lebih dekat dengan Tuhan.

Namun, pandangan dan interpretasi tentang Tuhan dapat sangat bervariasi antara ajaran keagamaan dan spiritual yang berbeda, serta pandangan individual yang mungkin berbeda-beda.

Konsep ini sejalan dengan para ahli sufi bahwa yang ada hanyalah Tuhan (Maujud La Ila Ha Illallah).

Hal ini juga bisa bermakna mengapa orang muslim menghadap bangunan Tua (ka’bah) yang kosong. Kosong adalah isi, isi adalah kosong. Didalam kekosongan itu sendiri ada kekuatan yang tak terhingga. Tuhan adalah ketakhinggaan, ketak hinggaan muncul karena dia bukanlah nilai 1 (satu) = ada, namun juga bukan kekosongan (nol) itu sendiri.


Makrifat : Mengenal Tuhan.

Seperti dijelaskan di awal bahwa makrifat adalah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, bukan hanya sekadar mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga mengetahui hakikat, rahasia, dan hikmah di balik ciptaan-Nya. Makrifatullah adalah puncak dari perjalanan rohani seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati.

Makrifatullah merupakan puncak kesadaran yang menentukan perjalanan hidup seorang hamba menuju Tuhannya. Hal ini menunjukkan pentingnya proses introspeksi, refleksi, dan perjalanan spiritual dalam mencapai pengetahuan dan pengalaman tentang makna hidup dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa yaitu Allah azza wajalla. Selalu menyadari kehadiran, kekuasaan, kehendak, dan kasih sayang Allah dalam setiap aspek kehidupan. melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda kebesaran Allah dan sebagai sarana untuk mengenal-Nya lebih dalam. terus merasakan bahwa Allah selalu melihat, mendengar, dan mengetahui apa yang kita lakukan, sehingga kita terus berusaha untuk taat, bersyukur, sabar, dan ikhlas dalam segala hal.

Terus menggunakan akal sehat kita untuk terus merenungkan ciptaan Allah dan mempelajari kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul khususnya Kitab Al-Quran Nul Karim sebagai kitab yang tiada keraguan padanya, petunjuk untuk orang-orang yang bertakwa seperti termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 2, dan mengambil hikmah serta pelajaran dari apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan dan bagaimana kita memahami asma dan sifat Allah serta mengamalkannya dalam perilaku dan sikap kita dalam kehidupan sehari hari. Sehingga ke semua ini akan membawah kita kepada ketenangan, kebahagiaan, dan keselamatan di dunia dan akhirat, amiin ya robbal alamin.

Makrifat sendiri kuncinya kembali ke Taqwa atau kembali lagi ke pencarian awal dimana tujuan dari menjalankan Syariat adalah agar kita bertakwa kepada Allah SWT. Namun takwa pada tataran syariat dan takwa pada tataran makrifat sudah berbeda jauh tingkatannya. Kita mungkin memahami segala teori tentang kemakrifatan namun belum tentu sampai ke maqom kemakrifatan yang sesungguhnya. Teori berkaitan dengan akal sedangkan kemakrifatan berkaitan dengan hati (kebatinan). Sesungguhnya hanya Allah-lah yang mengetahui apakah kita sudah berada di maqom kemakrifatan tersebut atau belum. Wallahu a'lam bish-shawab.

Referensi : Dari berbagai sumber

 

No comments:

Post a Comment