Kesadaran
adalah keadaan mental yang mencakup kesadaran akan diri sendiri, persepsi,
pemikiran, emosi, dan pengalaman. Ini adalah kemampuan untuk mengenali dan
memahami dunia di sekitar kita, khususnya diri sendiri dan orang lain.
Kesadaran juga melibatkan kemampuan untuk mengamati dan merasakan pengalaman
secara sadar, serta memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan hidup
dan makna keberadaan. Dalam konteks spiritual, kesadaran sering kali merujuk pada
keadaan pikiran yang terhubung dengan realitas yang lebih tinggi atau kesadaran
yang melampaui pemahaman konvensional.
Makrifatullah
adalah ilmu yang membuat seseorang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya,
bukan hanya sekadar mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga
mengetahui hakikat, rahasia, dan hikmah di balik ciptaan-Nya. Makrifatullah
adalah puncak dari perjalanan rohani seseorang yang ingin mendekatkan diri
kepada Allah dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati.
Makrifatullah
berada dalam kesadaran, dapat ditafsirkan sebagai pandangan bahwa pengalaman
dan pemahaman tentang Allah atau kebenaran spiritual sejati terletak dalam
kesadaran manusia itu sendiri. Makrifatullah merupakan puncak kesadaran yang
menentukan perjalanan hidup seorang hamba menuju Tuhannya. Hal ini menunjukkan
pentingnya proses introspeksi, refleksi, dan perjalanan spiritual dalam
mencapai pengetahuan dan pengalaman tentang makna hidup dan hubungan dengan
Yang Maha Kuasa yaitu Allah azza wajalla.
Makrifatullah
berada dalam kesadaran berarti bahwa seseorang yang memiliki makrifatullah akan
selalu menyadari kehadiran, kekuasaan, kehendak, dan kasih sayang Allah dalam
setiap aspek kehidupannya. Ia akan melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda
kebesaran Allah dan sebagai sarana untuk mengenal-Nya lebih dalam. Ia akan
merasakan bahwa Allah selalu melihat, mendengar, dan mengetahui apa yang ia
lakukan, sehingga ia akan berusaha untuk taat, bersyukur, sabar, dan ikhlas
dalam segala hal.
Makrifatullah
dalam kesadaran juga berarti bahwa seseorang yang memiliki makrifatullah akan
menggunakan akal sehatnya untuk merenungkan ciptaan Allah dan mempelajari
kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul. Ia akan mengambil hikmah dan pelajaran
dari apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Ia juga akan memahami asma dan
sifat Allah serta mengamalkannya dalam perilaku dan sikapnya.
Makrifatullah
dalam kesadaran adalah nikmat yang sangat besar yang dapat membawa seseorang
kepada ketenangan, kebahagiaan, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Makrifatullah
dalam kesadaran adalah tujuan hidup yang sesungguhnya bagi setiap muslim.
Dalam
pandangan saya, bahwa untuk benar-benar mengenal Allah, seseorang harus
memiliki kesadaran spiritual yang tinggi dan memahami tujuan hidup yang
sesungguhnya. Dengan demikian, Ma’rifatullah dapat membantu seseorang untuk
lebih dekat dengan Tuhan dan menjalani kehidupan dengan cara yang lebih
bermakna.
Oleh
karenanya Para tokoh sufi seperti Maulana
Jalaluddin Rumi, Imam Al-Ghazali, Ibn Arabi, serta yang lainnya membuat sebuah
kosep syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Konsep syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat tidak
dapat dikaitkan dengan satu individu yang spesifik, karena mereka merupakan
bagian dari tradisi dan ajaran Islam yang berkembang sepanjang sejarah.
Konsep-konsep ini berasal dari penafsiran dan pengembangan pemikiran oleh
banyak tokoh, sarjana, dan sufi dalam sejarah Islam.
Syariat,
Dalam Islam, syariat merujuk pada hukum dan aturan
yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan Sunnah (ajaran dan tindakan Nabi
Muhammad). Syariat merupakan panduan yang diikuti oleh umat Muslim dalam
menjalani kehidupan mereka, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam
interaksi sosial.
Syariat mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk
ibadah, etika, moralitas, hubungan sosial, hukum keluarga, keadilan, dan
ekonomi. Prinsip-prinsip syariat ditujukan untuk membimbing umat Muslim dalam
menjalani hidup sesuai dengan kehendak Allah dan menghasilkan masyarakat yang
adil, harmonis, dan bermoral.
Syariat menetapkan kewajiban dan larangan yang harus
diikuti oleh umat Muslim, seperti melaksanakan salat, berpuasa selama bulan
Ramadan, memberikan zakat, dan melaksanakan haji bagi yang mampu. Selain itu,
syariat juga mengatur tata cara berpakaian, makanan yang halal atau haram,
pernikahan, perceraian, warisan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Pemahaman dan implementasi syariat dapat berbeda dalam
berbagai konteks dan mazhab dalam Islam. Namun, prinsip-prinsip inti syariat
tetap menjadi dasar bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan mereka dan
membangun hubungan yang kokoh dengan Allah dan sesama manusia. Namun Inti dari Syariat adalah Menjalankan semua Perintah Allah yang
wajib bahkan yang sunnah serta menjauhi segala yang
di larang-Nya.
Tarikat sebagai jalur spiritual dalam Islam melibatkan
berbagai aliran dan tradisi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh sufi atau guru
spiritual seperti tarekat Naqshbandi, Qadiriyyah, Syadziliah, dan banyak lagi.
Setiap tarekat memiliki pendiri dan tokoh sentral yang memberikan ajaran dan
praktik khusus untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Dalam tarekat, praktik zikir atau mengingat Allah
merupakan bagian penting dalam perjalanan spiritual. Zikir dilakukan dengan
mengulang kalimat Allah dan Lailahailallah ribuan kali bahkan puluhan ribu
sebagai bentuk pengabdian dan upaya untuk selalu dekat dengan Allah. Melalui
zikir ini, pengikut tarekat berusaha menghubungkan diri mereka dengan hakikat
spiritual dan mendalami pengenalan yang lebih dalam tentang keberadaan Allah.
Selain praktik zikir, tarekat juga mengajarkan
nilai-nilai moral, disiplin spiritual, dan pengembangan batin. Para pengikut
tarekat diharapkan menjalani kehidupan yang bermakna dan mencerminkan ajaran
Islam dalam segala aspek. Mereka dipandu oleh guru spiritual atau syekh yang
memberikan arahan, bimbingan, dan dukungan dalam perjalanan mereka menuju
kesadaran yang lebih tinggi.
Meskipun ada perbedaan dalam ajaran dan praktik setiap
tarekat, tujuan akhirnya tetap sama, yaitu mencapai kesatuan dengan Allah dan
mengalami hakikat keberadaan yang lebih dalam. Tarikat memberikan wadah dan
struktur untuk individu menjalani perjalanan spiritual mereka dalam konteks
Islam yang berpusat pada cinta dan pengabdian kepada Allah.
Dengan melibatkan diri dalam tarekat, individu
berharap dapat mengembangkan kesadaran spiritual yang lebih tinggi, memperdalam
pemahaman tentang diri mereka dan Allah, serta menjalani kehidupan yang penuh
dengan kasih, kebajikan, dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.
Hakikat
dalam konteks
spiritualitas dan mistikisme merujuk pada pemahaman dan pengalaman mendalam
tentang hakikat sejati dari keberadaan, tujuan hidup, dan hubungan dengan
Tuhan. Ini melibatkan pengenalan langsung atau pemahaman yang dalam tentang
kebenaran esensial dan realitas yang mendasari segala sesuatu.
Dalam
tradisi mistik Islam, hakikat merujuk pada tingkat pemahaman spiritual yang
mendalam dan pengalaman transenden yang melampaui pengetahuan konvensional. Ini
mencakup pemahaman tentang sifat dan atribut Allah, hubungan antara manusia dan
Tuhan, serta pemahaman yang lebih dalam tentang makna hidup dan tujuan
eksistensi manusia.
Hakikat
melibatkan proses pencarian kebenaran dan pengalaman spiritual yang mendalam
melalui praktik-praktik seperti, dzikir, tafakkur (introspeksi), meditasi dan
ibadah yang intens (tarekat). Dalam pencarian hakikat, individu berusaha untuk
mencapai kesatuan dengan Tuhan dan mengalami pemahaman dan pengalaman yang
lebih dalam tentang kebenaran spiritual.
Pemahaman
dan pengalaman hakikat dapat bervariasi antara individu, dan seringkali
ditempuh melalui bimbingan seorang guru spiritual atau syekh. Tujuan utama dari
pengejaran hakikat adalah mencapai kesadaran yang lebih tinggi, kedekatan
dengan Tuhan, pemurnian jiwa, dan transformasi pribadi yang membawa kehidupan
yang lebih bermakna dan harmonis.
Inti
dari Hakikat adalah menyucikan hati dari sifat-sifat yang tercela, amarah,
hasut, iri, dengki, dan sifat-sifat buruk lainnya. Tujuan dari hakikat ini
adalah untuk memunculkan Nur Ilahi dan Nur Muhammad. Cahaya suci ini tidak akan
pernah bisa muncul jika batin ini tidak menjadi suci. Jika cahaya ilahi ini
sudah muncul maka menyatulah Mahluk dengan Tuhannya atau dikenal dengan istilah
“manunggaling kaula gusti” Manunggaling = Menyatu | Kaula = Hamba | Gusti = Tuhan
(menyatunya manusia dengan tuhan).
Secara
teoritis tidak mungkin manusia menyatu dengan Tuhannya sama halnya
ketidakmungkinan Robot memiliki hati. Tapi saat Artificial Intelligence (AI)
berkembang dengan pesat saat ini, kita melihat bagaimana Robot mampu menyatu
dengan manusia, mengobrol dan penuh perhatian seolah mereka memiliki hati
layaknya manusia, kita tidak tahu apa yang terjadi dimasa yang akan datang bisa
saja manusia benar-benar
bisa menjadi seolah manusia sesungguhnya. Begitu juga refleksi atau analogi dari
menyatunya manusia dengan Tuhan.
Tubuh
manusia diciptakan dari tanah, namun Roh Manusia itu tidak di ciptakan tapi di
hembuskan langsung oleh Allah Tuhan Yang Maha Pencipta seperti termuat dalam QS.
As-Sajadah : 9 dan QS. Al-Hijr : 29. Oleh karenanya makna dihembuskannya Roh/Ruh
sendiri adalah bahwa Ruh adalah bagian langsung dari sang Pencipta dia tidak
hancur seperti tubuh manusia, dia hidup abadi untuk mempertanggung jawabkan
segala amal saat dia berada dalam tubuh fananya.
Roh
sendiri meliputi dua hal yaitu Akal
dan Hati. Sejatinya Roh sendiri meliputi seluruh tubuh manusia karena roh
meliputi pergerakan tidak sadar bahkan dari struktur terkecil tubuh manusia yaitu
sel atau lebih kecil lagi. Itulah mengapa Roh sering disebutkan dalam berbagai
literatur berwujud seperti manusia.
Nafas adalah pengikat Roh dan Raga. Jika manusia memperhatikan nafasnya sejatinya dia telah memasuki ke kesadaran yang lebih tinggi, seperti yang di jelaskan dalam QS. Al-fajr : 27-28 “Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah ( Nafs = Nafas = Jiwa = Roh ) = Wahai "Nafs" yang tenang, irji'i ila rabbiki radhiyatam mardhiyyah ( kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya)...dst..
Dalam
konteks spiritual "nafs" merujuk pada jiwa atau esensi manusia yang
mencakup berbagai aspek, seperti keinginan, emosi, dan akal.
Dalam
tradisi Sufi, "nafs" digunakan untuk merujuk pada tingkatan atau
tahapan spiritual dalam perjalanan ke arah Tuhan. Tahap-tahap tersebut meliputi
nafs ammara (jiwa yang merayu kepada kejahatan), nafs lawwama (jiwa yang merasa
bersalah), dan nafs mutma'inna (jiwa yang merasa tenang dan puas dengan
ketundukan kepada Allah).
Begitu juga konsep tentang Tuhan sebagai
“ketenangan dan kekosongan” dapat memiliki makna dan interpretasi yang
berbeda-beda dalam berbagai ajaran keagamaan dan spiritual.
Dalam
beberapa tradisi spiritual, konsep tentang Tuhan sebagai ketenangan dan
kekosongan dapat dikaitkan dengan pandangan tentang Tuhan sebagai sumber segala
sesuatu atau sumber dari semua keberadaan. Dalam pandangan ini, kekosongan atau
ketiadaan dapat diartikan sebagai keadaan atau realitas di luar dunia materi
atau dimensi yang dapat kita rasakan, sementara ketenangan dapat diartikan
sebagai keadaan keabadian dan ketidakberubahannya.
Dalam
beberapa tradisi spiritual, pencarian atau pengalaman tentang Tuhan dapat
dihubungkan dengan pencarian ketenangan dan kekosongan yang berada di dalam
diri manusia. Dengan menyadari kekosongan di dalam diri, manusia dapat mencapai
keadaan ketenangan yang lebih dalam dan mencapai pengalaman yang lebih dekat
dengan Tuhan.
Namun,
pandangan dan interpretasi tentang Tuhan dapat sangat bervariasi antara ajaran
keagamaan dan spiritual yang berbeda, serta pandangan individual yang mungkin
berbeda-beda.
Konsep
ini sejalan dengan para ahli sufi bahwa yang ada hanyalah Tuhan (Maujud La Ila
Ha Illallah).
Hal ini juga bisa bermakna mengapa orang muslim menghadap bangunan Tua (ka’bah) yang kosong. Kosong adalah isi, isi adalah kosong. Didalam kekosongan itu sendiri ada kekuatan yang tak terhingga. Tuhan adalah ketakhinggaan, ketak hinggaan muncul karena dia bukanlah nilai 1 (satu) = ada, namun juga bukan kekosongan (nol) itu sendiri.
Makrifat
: Mengenal Tuhan.
Seperti
dijelaskan di awal bahwa makrifat adalah mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya, bukan hanya sekadar mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya,
tetapi juga mengetahui hakikat, rahasia, dan hikmah di balik ciptaan-Nya.
Makrifatullah adalah puncak dari perjalanan rohani seseorang yang ingin mendekatkan
diri kepada Allah dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati.
Makrifatullah
merupakan puncak kesadaran yang menentukan perjalanan hidup seorang hamba
menuju Tuhannya. Hal ini menunjukkan pentingnya proses introspeksi, refleksi,
dan perjalanan spiritual dalam mencapai pengetahuan dan pengalaman tentang
makna hidup dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa yaitu Allah azza wajalla. Selalu
menyadari kehadiran, kekuasaan, kehendak, dan kasih sayang Allah dalam setiap
aspek kehidupan. melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda kebesaran Allah dan
sebagai sarana untuk mengenal-Nya lebih dalam. terus merasakan bahwa Allah
selalu melihat, mendengar, dan mengetahui apa yang kita lakukan, sehingga kita
terus berusaha untuk taat, bersyukur, sabar, dan ikhlas dalam segala hal.
Terus
menggunakan akal sehat kita untuk terus merenungkan ciptaan Allah dan
mempelajari kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul khususnya Kitab Al-Quran Nul
Karim sebagai kitab yang tiada keraguan padanya, petunjuk untuk orang-orang
yang bertakwa seperti termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 2, dan mengambil hikmah
serta pelajaran dari apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan dan bagaimana
kita memahami asma dan sifat Allah serta mengamalkannya dalam perilaku dan
sikap kita dalam kehidupan sehari hari. Sehingga ke semua ini akan membawah
kita kepada ketenangan, kebahagiaan, dan keselamatan di dunia dan akhirat,
amiin ya robbal alamin.
Makrifat
sendiri kuncinya kembali ke Taqwa atau kembali lagi ke pencarian awal dimana tujuan
dari menjalankan Syariat adalah agar kita bertakwa kepada Allah SWT. Namun takwa pada tataran syariat dan takwa pada tataran makrifat sudah
berbeda jauh tingkatannya. Kita mungkin memahami segala teori tentang kemakrifatan namun belum tentu sampai ke maqom kemakrifatan
yang sesungguhnya. Teori berkaitan dengan akal sedangkan kemakrifatan berkaitan
dengan hati (kebatinan). Sesungguhnya
hanya Allah-lah yang mengetahui apakah kita sudah
berada di maqom kemakrifatan tersebut atau belum. Wallahu a'lam bish-shawab.
Referensi :
Dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment